Fitrah Anak, Insan Mulia

Semalam pengajian Anak-ANak Insan Mulia (Amalia) diskusi bersama, Icha bertanya, "Kak agus, apakah anak menanggung dosa orang tuanya?" pertanyaan ini tentunya tidak mudah untuk dijawab. Saya katakan pada Icha bahwa tidak ada dosa orang tua yang harus ditanggung oleh anak sebab pada dasarnya setiap anak yang terlahir adalah suci (fitrah).

"Semua perbuatan itu karena pilihan-pilihan hidup kita sendiri bukan karena dosa yang pernah orang tua kita lakukan." jawab saya. Setiap anak yang terlahir dengan desain jiwa yang sempurna.


Dari surat asy Syam dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki desain kejiwaan yang sempurna, memiliki potensi untuk memahami kebaikan dan kejahatan, dan bisa ditingkatkan kualitasnya menjadi suci dan dapat tercemar sehingga menjadi kotor.

Artinya:

…dan (demi) jiwa serta penyempurnaan (ciptaan-Nya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q/ 91:-10).

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Tuhan menciptakan jiwa manusia sebagai sesuatu yang sempurna. Kata wa pada wa nafsin adalah bentuk qasam. Dalam Alquran, kata yang dijadikan sumpah Tuhan (yang didahuluinya wawu qasam), seperti wasy syamsi, wad dluha, wal’ahri mengacu kepada sesuatu yang mengandung arti dahsyat, hebat, atau rumit. Kalimat wa nafsin menunjuk bahwa nafs itu sesuatu yang memiliki kualitas hebat, dahsyat, rumit, dan sempurna.

Dalam kalimat berikutnya, yakni mawa saw waha secara tegas menyebut kesempurnaan jiwa itu antara lain diberinya potensi (ilham) untuk memahami perilaku (nilai-nilai) buruk dan membedakannya dengan perilaku takwa atau perilaku baik. Semua manusia pada desain awalnya dipersiapkan untuk mampu membedakan yang buruk dari yang baik, tetapi apakah potensi itu akan menjadi aktual atau tidak masih bergantung kepada proses berikutnya. Dalam hadist Nabi disebutkan bahwa setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah (jiwanya dalam kedaan memiliki potensi universal, dan bersih dari dosa warisan). Kedua orang tuanya (lingkungan hidup)-lah yang selanjutnya akan berperan mengaktualkan potensi fitrah itu menjadi Yahudi, Nasrani, Majusi, atau yang lainnya.

Jika seekor kuda dilahirkan langsung bisa berdiri dan sebentar kemudian sudah bisa berlari, maka potensi fitrah manusia baru bisa aktual jika fungsi-fungsi kejiwaan yang lain dan fisiknya mencapai kesempurnaan. Bayi manusia secara berangsur-angsur dari bisa menangis dan menyusu sampai dapat ngoceh, merangkak, duduk, berdiri,berlari, berbicara, menghitung, berimajinasi, berfikir logis, merenung, berfilsafat, dan seterusnya, dalam waktu yang relatif panjang. Jika potensi anak kuda berhenti pada kemampuan berlari kencang, aktualisasi potensi kejiwaan manusia berkembang sangat luas seakan hampir tidak berbatas.

Dalam ayat 9 surat as Syam tersebut di atas disebutkan bahwa secara fitri Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia pengetahuan tentang keburukan (fujur) dan kebaikan (taqwa). Mengapa dalam ayat tersebut keburukan (fujur) disebutkan lebih dahulu, baru kebaikan (taqwa), bukanlah sekedar penyebutan, melainkan mengandung makna bahwa jiwa manusia lebih mudah mengenali keburukan dibanding kebaikan.

Secara fitri, manusia akan langsung mempersepsikan keburukan sebagai keburukan, karena keburukan berseberangan dengan fitrah dasar manusia sebagai makhluk yang baik. Menurut Alquran, manusia secara psikologis juga lebih mudah mengerjakan kebaikan karena sesuai dengan desain fitrahnya (laha ma kasabat); sedangkan untuk berbuat jahat manusia harus berjuang melawan suara hatinya, suara nuraninya, sehingga terasa berat (wa ‘alaiha ma iktasabat). Kalimat kasabat dan iktasabat dalam bahasa Arab mengandung arti dasar yang sama, tetapi kasabat mengandung arti mudah mengerjakannya dan iktasabat mengandung arti sulit mengerjakannya (Q / 2:286).

0 Response to "Fitrah Anak, Insan Mulia"

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel