Orang Miskin

Di satu daerah kompleks perumahan seorang anak kecil berlarian sambil berteriak pada ibunya, 'Mamah..mamah.' Mamahnya yang sedang sibuk didapur terkejut mendengar teriakan anaknya. 'Ada apa, dek?' tanya mamahnya.

'Kayaknya tetangga kita, rumah sebelah orang miskin deh..mah.' kata sang anak.

'Ah, masa sih dek?' tanya mamahnya.

'Iya mah..masa karena anaknya menelan uang logam 500 rupiah aja sudah pada ribut.' jelas sang anak pada mamahnya.

Begitulah anak-anak berpikir dengan logikanya sendiri. Bila menelan uang 500 rupiah nilainya kecil maka dianggapnya sebagai orang miskin, mungkin bila yang ditelan uang 50.000 rupiah bisa jadi dianggapnya sebagai orang kaya. Namun begitulah kita sering kali kita juga menilai diri kita sendiri dan orang lain dari jumlah kekayaan yang dimiliki bukan dari kecukupan dan kebersyukuran.

Saya teringat diwaktu masih SMP memahami makna kecukupan dan kebersyukuran melalui penjelasan bapak saya. Bapak saya begitu sangat menghormati penjual sayur yang dipandang miskin, saya pernah bertanya padanya kenapa bapak sangat menghormatinya.

Bapak saya mengatakan, 'Apakah dia masih sholat?'

'Masih pak,' jawab saya.

'Pernahkah kita mendengar kabar dia mengambil milik orang lain?' tanya bapak.

'Tidak pak,' jawab saya.

'Pernahkah kita mendengar dia mengeluh karena kemiskinannya?' tanyanya lagi.

'Tidak pernah pak.' jawab saya.

Bapak saya kemudian menjelaskan, jika ada orang miskin yang tidak pernah meninggalkan sholatnya, tidak pernah mengambil hak orang lain dan tidak pernah mengeluh kepada orang lain karena kemiskinannya maka kita wajib menghormatinya, sebab dari merekalah kita bisa belajar tentang kecukupan dan syukur nikmat atas semua karuniaNya.

---
'Dan barangsiapa yang akhirat menjadi keinginannya, niscaya Alloh kumpulkan baginya urusan(dunia)-nya dan dijadikan kekayaan di dalam hatinya dan didatangkan kepadanya dunia bagaimanapun keadaannya.' (HR Ibnu Majah)

0 Response to "Orang Miskin"

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel