Ikhlas, Sabar Dan Cerdas
Malam terdengar suara mengaji anak-anak Amalia. Suara cengkrama anak-anak terdengar ramai. Berkelompok mereka sedang menghapal surat al-Lail, seorang anak muda sehabis maghrib bertanda ke Rumah Amalia. Kami berdiskusi hangat tentang kehidupan. Anak muda itu bertanya tentang mukhlis, shabur dan halim. Saya jelaskan bahwa Mukhlis itu artinya orang yang ikhlas, Shabur artinya orang yang sabar dan Halim artinya orang yang cerdas secara emosional dan spiritual.
‘Mas Agus, bisakah menjelaskan ketiga hal tadi?’ tanyanya.
Kemudian saya jelaskan padanya, Nampak anak muda itu mendengarkan dengan seksama. Ada anak Amalia terlihat sedang memperhatikan apa yang menjadi perbicangan kami.
‘Nah, mari kita pahami terlebih dahulu arti mukhlis,’ tutur saya padanya. Mukhlis, artinya orang yang ikhlas. Seorang dengan kualitas mukhlis adalah orang yang hatinya bersih dari keinginan memperoleh pujian. Semua perbuatannya, perkataannya, pemberiannya, penolakannya, perkataannya, diamnya, ibadahnya dan seterusnya, semata-mata dilakukan hanya untuk Allhh SWT. Oleh karena itu baginya pujian orang tidak membuatnya berbangga hati, dan kekecewaan serta caci maki orang tidak membuatnya surut. Dari deretan predikat kualitas yang dicontohkan Nabi dengan urutan Muslim, Mu'min, 'Alim (orang terpelajar), Amil (yang beramal) dan Mukhlis, maka selain mukhlis, mereka masih berpeluang mengalami kesia-siaan (halka).
Manusia dengan kualitas mukhlis adalah orang yang paling produktif bagi dirinya, meski boleh jadi tidak diakui oleh orang lain. Sementara seorang 'alim yang 'amil (orang pandai yang banyak berbuat) tetapi tidak mukhlis adalah kontra produktif bagi dirinya, meski boleh jadi memperoleh banyak penghargaan dari masyarakat. Seorang mukhlis lebih suka menyembunyikan perbuatannya dari penglihatan orang lain, sedangkan kebalikannya yaitu orang yang riya, ia hanya mau melakukan sesuatu jika diketahui orang, atau diliput berita. Orang mukhlis berbuat sesuatu demi Alloh, sedangkan orang riya melakukannya demi pujian orang.
Adapun shabir atau shabur, artinya adalah orang yang sabar atau penyabar. Menurut Imam Ghazali, sabar artinya tabah hati tanpa mengeluh dalam menghadapi cobaan dan rintangan, dalam jangka waktu tertentu, dalam rangka mencapai tujuan. Jadi orang yang bisa sabar adalah orang yang selalu ingat kepada tujuan, karena kesabaran itu diperlukan adalah justru demi untuk mencapai tujuan. Orang yang tidak sabar biasanya, karena lupa tujuan akhir, ia mudah terpedaya untuk melayani gangguan-gangguan yang tidak prinsipil, sehingga apa yang menjadi tujuan terlupakan, sebaliknya ia melakukan sesuatu yang justeru mempersulit tercapainya tujuan.. Sabarpun mengenal batas waktu, oleh karena itu jika suatu ketika mengalami kegagalan, sudah diulang gagal, diulang lagi gagal lagi, maka orang yang sabar hams berfikir mencari alternatif, karena boleh jadi sumber masalahnya justru pada keputusan awal yang kurang tepat.
Manusia dengan kualitas penyabar adalah sosok manusia yang ulet, tak kenal menyerah, tak kenal putus asa, dan tak kurang akal. Ia bukan hanya mampu mengatasi kesulitan yang datang dari luar, kesulitan tehnis misalnya, tetapi juga mampu mengatasi kesulitan yang datang dari diri sendiri, kebosanan, kemalasan atau syahwat misalnya. Al Qur'an menghargai manusia unggul yang penyabar, yakni yang sabar dan memiliki kecerdasan intelektuil, Emosionil dan Spirituil (IQ, EQ dan SQ) ,setara dengan seratus orang kafir (yang sombong, emosionil dan tak mempunyai nilai keruhanian) (Q/al Anfal, 65). Dalam keadaan normal, Al Qur'an menghargai peribadi penyabar setara dengan dua orang biasa (Q/8: 66).
Sedangkan manusia dengan kualitas halim, Al Qur'an memberi contoh sosok Nabi Ibrahim. Dia adalah pribadi yang awwahun halim (Q/ at Taubah: 114) Al hilm itu sendiri dapat diartikan sebagai akal, tetapi akal bukan sebagai problem solving capasity, melainkan akal sebagai akumulasi seluruh kecerdasan, intelektual, emosional dan spiritual.
Nabi Ibrahim sebagai sosok model seorang yang berkualitas halim, memang sangat tepat, karena pada dirinya terkumpul sifat-sifat kecerdasan, kelembutan hati, belas kasih, dan perasaan mengkhawatirkan keadaan orang lain. Ibrahim tidak memiliki perasaan marah dan benci termasuk kepada orang yang memusuhinya. Ketika Nabi Ibrahim lapor kepada Alloh SWT tentang kaumnya yang patuh dan yang durhaka, Nabi Ibrahim memohon kepada Alloh agar mengampuni dan menyayangi kaumnya yang durhaka (faman tabi'ani fa innahu minni , waman 'asoni fa innaka ghofu run rohiem (Q/14:36).
‘Mas Agus, bisakah menjelaskan ketiga hal tadi?’ tanyanya.
Kemudian saya jelaskan padanya, Nampak anak muda itu mendengarkan dengan seksama. Ada anak Amalia terlihat sedang memperhatikan apa yang menjadi perbicangan kami.
‘Nah, mari kita pahami terlebih dahulu arti mukhlis,’ tutur saya padanya. Mukhlis, artinya orang yang ikhlas. Seorang dengan kualitas mukhlis adalah orang yang hatinya bersih dari keinginan memperoleh pujian. Semua perbuatannya, perkataannya, pemberiannya, penolakannya, perkataannya, diamnya, ibadahnya dan seterusnya, semata-mata dilakukan hanya untuk Allhh SWT. Oleh karena itu baginya pujian orang tidak membuatnya berbangga hati, dan kekecewaan serta caci maki orang tidak membuatnya surut. Dari deretan predikat kualitas yang dicontohkan Nabi dengan urutan Muslim, Mu'min, 'Alim (orang terpelajar), Amil (yang beramal) dan Mukhlis, maka selain mukhlis, mereka masih berpeluang mengalami kesia-siaan (halka).
Manusia dengan kualitas mukhlis adalah orang yang paling produktif bagi dirinya, meski boleh jadi tidak diakui oleh orang lain. Sementara seorang 'alim yang 'amil (orang pandai yang banyak berbuat) tetapi tidak mukhlis adalah kontra produktif bagi dirinya, meski boleh jadi memperoleh banyak penghargaan dari masyarakat. Seorang mukhlis lebih suka menyembunyikan perbuatannya dari penglihatan orang lain, sedangkan kebalikannya yaitu orang yang riya, ia hanya mau melakukan sesuatu jika diketahui orang, atau diliput berita. Orang mukhlis berbuat sesuatu demi Alloh, sedangkan orang riya melakukannya demi pujian orang.
Adapun shabir atau shabur, artinya adalah orang yang sabar atau penyabar. Menurut Imam Ghazali, sabar artinya tabah hati tanpa mengeluh dalam menghadapi cobaan dan rintangan, dalam jangka waktu tertentu, dalam rangka mencapai tujuan. Jadi orang yang bisa sabar adalah orang yang selalu ingat kepada tujuan, karena kesabaran itu diperlukan adalah justru demi untuk mencapai tujuan. Orang yang tidak sabar biasanya, karena lupa tujuan akhir, ia mudah terpedaya untuk melayani gangguan-gangguan yang tidak prinsipil, sehingga apa yang menjadi tujuan terlupakan, sebaliknya ia melakukan sesuatu yang justeru mempersulit tercapainya tujuan.. Sabarpun mengenal batas waktu, oleh karena itu jika suatu ketika mengalami kegagalan, sudah diulang gagal, diulang lagi gagal lagi, maka orang yang sabar hams berfikir mencari alternatif, karena boleh jadi sumber masalahnya justru pada keputusan awal yang kurang tepat.
Manusia dengan kualitas penyabar adalah sosok manusia yang ulet, tak kenal menyerah, tak kenal putus asa, dan tak kurang akal. Ia bukan hanya mampu mengatasi kesulitan yang datang dari luar, kesulitan tehnis misalnya, tetapi juga mampu mengatasi kesulitan yang datang dari diri sendiri, kebosanan, kemalasan atau syahwat misalnya. Al Qur'an menghargai manusia unggul yang penyabar, yakni yang sabar dan memiliki kecerdasan intelektuil, Emosionil dan Spirituil (IQ, EQ dan SQ) ,setara dengan seratus orang kafir (yang sombong, emosionil dan tak mempunyai nilai keruhanian) (Q/al Anfal, 65). Dalam keadaan normal, Al Qur'an menghargai peribadi penyabar setara dengan dua orang biasa (Q/8: 66).
Sedangkan manusia dengan kualitas halim, Al Qur'an memberi contoh sosok Nabi Ibrahim. Dia adalah pribadi yang awwahun halim (Q/ at Taubah: 114) Al hilm itu sendiri dapat diartikan sebagai akal, tetapi akal bukan sebagai problem solving capasity, melainkan akal sebagai akumulasi seluruh kecerdasan, intelektual, emosional dan spiritual.
Nabi Ibrahim sebagai sosok model seorang yang berkualitas halim, memang sangat tepat, karena pada dirinya terkumpul sifat-sifat kecerdasan, kelembutan hati, belas kasih, dan perasaan mengkhawatirkan keadaan orang lain. Ibrahim tidak memiliki perasaan marah dan benci termasuk kepada orang yang memusuhinya. Ketika Nabi Ibrahim lapor kepada Alloh SWT tentang kaumnya yang patuh dan yang durhaka, Nabi Ibrahim memohon kepada Alloh agar mengampuni dan menyayangi kaumnya yang durhaka (faman tabi'ani fa innahu minni , waman 'asoni fa innaka ghofu run rohiem (Q/14:36).
0 Response to "Ikhlas, Sabar Dan Cerdas"
Post a Comment