Tangga Menuju Kebahagiaan
Di dalam keluarga akan selalu hadir bagi mereka yang tahu dimana letak tangga sesungguhnya berada. Seringkali kita tersesat pada tangga semu dalam hidup ini. Gambaran mobil mewah, kekayaan yang melimpah, kedudukan bagai tangga fatamorgana yang justru menjauhkan diri kita menuju kebahagiaan. Allah SWT sudah memperingatkan kita dalam surah al-Anfal (8:63) “Law anfaqta ma fil ardhi jami’an ma allafta baina qulubihim” Walaupun kau belanjakan semua kekayaan yang berada dimuka bumi, kau tidak akan bisa mempersatukan hati mereka. Itu berarti bahwa tangga yang sesungguhnya untuk mencapai kebahagiaan bukanlah kondisi material namun lebih bersifat essensial.
Oleh sebab itu kondisi materi tidak bisa menjadi tolok ukur kebahagiaan dalam keluarga, ada keluarga yang sangat kaya raya bahagia, juga ada keluarga yang tidak punya justru menderita. Namun sebaliknya ada keluarga yang tidak berpunya namun sangat bahagia dan ada juga orang yang kaya raya justru menderita karena harta bendanya. Semua itu tergantung sejauhmana keluarga tersebut menemukan tangga kehidupan menuju kebahagiaan yang hakiki.
Dalam perjalanan hidup saya pencarian tangga menuju kebahagiaan seperti tak pernah henti sebagaimana halnya anda. Kali ini saya menawarkan pilihan tangga bagaimana dalam keluarga untuk bisa mencapai kebahagiaan.
Tangga pertama, “Man arofa nafsahu wa man arofa robbahu.” Kenalilah dirimu, maka engkau akan mengenal Tuhanmu. Mengenali diri berarti juga mengenali Tuhan. Kenapa mengenali diri berarti mengenali Tuhan? Mengenali diri diawali mengenali suara hati kita. Suara hati akan terdengar jika kita mampu mengendalikan hawa nafsu yang bagaikan kuda liar. Membiarkan tubuh dikendalikan hawa nafsu akan membuat tubuh menjadi sarang penyakit. Membiarkan jiwa dikendalikan hawa nafsu maka berbagai penyakit jiwa akan bersarang. Dengan mengendalikan hawa nafsu maka akan terdengar suara hati. Pada suara hati kita melihat Allah SWT sebagai tujuan akhir. “Wa ilallahi turja’ul umur” (Dan hanya pada Allah-lah dikembalikan segala urusan). SQ. Al-Baqoroh 2:210.
Tangga kedua, Belajarlah menerima diri sendiri. Ada cerita seorang istri yang bersuamikan ekspatriat. Suatu hari sang suami pulang ke Belanda. Tanpa seijin suaminya sang istri melakukan operasi plastik untuk memancungkan hidungnya. Begitu suaminya pulang dari Belanda melihat hidung istrinya yang berubah menjadi mancung membuat sang suami menjadi marah besar. Istri keheranan, kenapa suaminya marah. Kata suaminya, “saya itu mencintai kamu karena hidung kamu yang pesek itu.”
Dari cerita itu dapatlah kita petik bahwa menerima diri sendiri berarti menerima segala bentuk kekurangan dan kelebihan diri kita. Menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri berarti menemukan sinergi didalam diri sendiri sebab didalam diri itulah kita juga terdapat perbedaan.
Tangga ketiga, belajarlah memberi. Ada seorang kawan yang selalu berbuat baik kepada orang lain. Jika lagi tanggal tua gaji udah habis, dia malah mentraktir makan soto. Kawan saya itu mengatakan, jika ingin mendapatkan sesuatu belajarlah dengan memberi. Jika ingin kebahagiaan, berikanlah kebahagiaan itu pada orang lain. Jika kita ingin kebaikan berikanlah kebaikan itu kepada orang lain. Jika ingin kekayaan maka sering-seringlah bersedekah. Maka kita akan mendapatkan dari apa yang kita berikan pada orang lain.
Tangga keempat, temukanlah guru sejati kehidupan. Disekolah seringkali saya dipusingkan jika berhadapan dengan siswa yang suka pacaran disekolah, tidak ikut sholat jumat, datangnya suka terlambat rasanya tidak tahan menghadapinya, malah ada rekan pengajar yang mengatakan pada saya, “Kita harus bersyukur sebab dari merekalah kita sebenarnya menemukan guru sejati kita., kita bisa belajar sabar, ikhlas, dan membuat kita semakin memahami kehidupan.”
Dari ucapan sahabat tersebut maka makna yang bisa dipetik bahwa bersyukurlah kita jika memiliki istri yang sangat cerewet, atau suami yang susah diatur, murid yang bandel datangnya suka terlambat sebab dengan demikian kita akan menemukan guru sejati kehidupan. Dari sanalah kita bisa belajar makna kehidupan.
Tangga kelima, “baiti jannati.” rumahku adalah surgaku. Puncak tangga didalam keluarga menuju kebahagiaan adalah jika kita mampu menjadikan rumah sebagai surga. Rangkaian tangga menjadi diri sendiri, belajar menerima, belajar memberi dan menemukan guru sejati adalah rangkaian sikap kita untuk membangun rumah tangga kita menjadi surga pada semua anggota keluarga, baik suami, istri dan anak-anak. Dengan demikian pada tangga yang terakhir adalah menuju rumahku adalah surgaku. Lantas bagaimana dengan tangga kehidupan yang anda miliki?
Oleh sebab itu kondisi materi tidak bisa menjadi tolok ukur kebahagiaan dalam keluarga, ada keluarga yang sangat kaya raya bahagia, juga ada keluarga yang tidak punya justru menderita. Namun sebaliknya ada keluarga yang tidak berpunya namun sangat bahagia dan ada juga orang yang kaya raya justru menderita karena harta bendanya. Semua itu tergantung sejauhmana keluarga tersebut menemukan tangga kehidupan menuju kebahagiaan yang hakiki.
Dalam perjalanan hidup saya pencarian tangga menuju kebahagiaan seperti tak pernah henti sebagaimana halnya anda. Kali ini saya menawarkan pilihan tangga bagaimana dalam keluarga untuk bisa mencapai kebahagiaan.
Tangga pertama, “Man arofa nafsahu wa man arofa robbahu.” Kenalilah dirimu, maka engkau akan mengenal Tuhanmu. Mengenali diri berarti juga mengenali Tuhan. Kenapa mengenali diri berarti mengenali Tuhan? Mengenali diri diawali mengenali suara hati kita. Suara hati akan terdengar jika kita mampu mengendalikan hawa nafsu yang bagaikan kuda liar. Membiarkan tubuh dikendalikan hawa nafsu akan membuat tubuh menjadi sarang penyakit. Membiarkan jiwa dikendalikan hawa nafsu maka berbagai penyakit jiwa akan bersarang. Dengan mengendalikan hawa nafsu maka akan terdengar suara hati. Pada suara hati kita melihat Allah SWT sebagai tujuan akhir. “Wa ilallahi turja’ul umur” (Dan hanya pada Allah-lah dikembalikan segala urusan). SQ. Al-Baqoroh 2:210.
Tangga kedua, Belajarlah menerima diri sendiri. Ada cerita seorang istri yang bersuamikan ekspatriat. Suatu hari sang suami pulang ke Belanda. Tanpa seijin suaminya sang istri melakukan operasi plastik untuk memancungkan hidungnya. Begitu suaminya pulang dari Belanda melihat hidung istrinya yang berubah menjadi mancung membuat sang suami menjadi marah besar. Istri keheranan, kenapa suaminya marah. Kata suaminya, “saya itu mencintai kamu karena hidung kamu yang pesek itu.”
Dari cerita itu dapatlah kita petik bahwa menerima diri sendiri berarti menerima segala bentuk kekurangan dan kelebihan diri kita. Menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri berarti menemukan sinergi didalam diri sendiri sebab didalam diri itulah kita juga terdapat perbedaan.
Tangga ketiga, belajarlah memberi. Ada seorang kawan yang selalu berbuat baik kepada orang lain. Jika lagi tanggal tua gaji udah habis, dia malah mentraktir makan soto. Kawan saya itu mengatakan, jika ingin mendapatkan sesuatu belajarlah dengan memberi. Jika ingin kebahagiaan, berikanlah kebahagiaan itu pada orang lain. Jika kita ingin kebaikan berikanlah kebaikan itu kepada orang lain. Jika ingin kekayaan maka sering-seringlah bersedekah. Maka kita akan mendapatkan dari apa yang kita berikan pada orang lain.
Tangga keempat, temukanlah guru sejati kehidupan. Disekolah seringkali saya dipusingkan jika berhadapan dengan siswa yang suka pacaran disekolah, tidak ikut sholat jumat, datangnya suka terlambat rasanya tidak tahan menghadapinya, malah ada rekan pengajar yang mengatakan pada saya, “Kita harus bersyukur sebab dari merekalah kita sebenarnya menemukan guru sejati kita., kita bisa belajar sabar, ikhlas, dan membuat kita semakin memahami kehidupan.”
Dari ucapan sahabat tersebut maka makna yang bisa dipetik bahwa bersyukurlah kita jika memiliki istri yang sangat cerewet, atau suami yang susah diatur, murid yang bandel datangnya suka terlambat sebab dengan demikian kita akan menemukan guru sejati kehidupan. Dari sanalah kita bisa belajar makna kehidupan.
Tangga kelima, “baiti jannati.” rumahku adalah surgaku. Puncak tangga didalam keluarga menuju kebahagiaan adalah jika kita mampu menjadikan rumah sebagai surga. Rangkaian tangga menjadi diri sendiri, belajar menerima, belajar memberi dan menemukan guru sejati adalah rangkaian sikap kita untuk membangun rumah tangga kita menjadi surga pada semua anggota keluarga, baik suami, istri dan anak-anak. Dengan demikian pada tangga yang terakhir adalah menuju rumahku adalah surgaku. Lantas bagaimana dengan tangga kehidupan yang anda miliki?
1 Response to "Tangga Menuju Kebahagiaan"
tulisan yang bagus sekali! sangat menyentuh!
Post a Comment