Teladan Nabi

Pada suatu malam di Rumah Amalia ada salah satu anak yang bertanya kepada saya, 'Kak Agus, apakah Nabi Muhamad suka membantu orang-orang miskin dan anak yatim?' Saya kemudian menjelaskan padanya bahwa Nabi Muhamad SAW selalu menolong orang-orang miskin dan anak yatim. Kemudian saya menceritakan padanya, Pada suatu ketika ada langkah sepasang kaki terhenti oleh sesegukan gadis kecil di tepi jalan. 'apakah gerangan yang membuat engkau menangis anakku?' lembut menyapa suara itu menahan beberapa detik segukan sang gadis.

Tak menoleh gadis kecil itu ke arah suara yang menyapanya, matanya masih menerawang tak menentu seperti mencari sesosok yang amat ia rindui kehadirannya di hari bahagia itu. Ternyata, ia menangis lantaran tak memiliki baju yang bagus untuk merayakan hari kemenangan. 'Ayahku mati syahid dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah,' tutur gadis kecil itu menjawab tanya lelaki di hadapannya tentang Ayahnya.

lelaki itu mendekap gadis kecil itu. 'Maukah engkau, seandainya Aisyah menjadi ibumu, Muhammad Ayahmu, Fatimah bibimu, Ali sebagai pamanmu, dan Hasan serta Husain menjadi saudaramu?' Sadarlah gadis itu bahwa lelaki yang sejak tadi berdiri di hadapannya tak lain Nabi Muhammad SAW, Nabi anak yatim yang senantiasa memuliakan anak yatim. Begitulah lelaki agung itu membuat seorang gadis kecil yang bersedih di hari raya kembali tersenyum. Barangkali, itu senyum terindah yang pernah tercipta dari seorang anak yatim, yang diukir oleh Nabi anak yatim. Rasulullah membawa serta gadis itu ke rumahnya untuk diberikan pakaian bagus, terbasuhlah sudah airmatanya.

Teladan Nabi harus pula dipahami sebagai keseluruhan kepribadian Nabi dan akhlak beliau, yang dalam kepribadian dan akhlak beliau disebutkan dalam Kitab Suci sebagai teladan yang baik (uswah hasanah) bagi kita semua "yang benar-benar berharap pada Alloh pada Hari Kemudian, serta banyak ingat kepada Alloh" (Q.S. al-Ahzab 33:32). Dan beliau juga dilukiskan dalam Kitab Suci sebagai seorang yang berakhlak amat mulia (Q.S. al-Qalam 68:4). Dengan demikian Nabi, dalam hal ini tingkah laku dan kepribadian beliau sebagai seorang yang berakhlak mulia, menjadi pedoman hidup kedua setelah Kitab Suci bagi seluruh kaum beriman.

Tetapi justru karena itu maka memahami sunnah Nabi tidak dapat lepas dari memahami Kitab Suci. Sebab sesungguhnya akhlak Nabi yang mulia itu tidak lain adalah semangat Kitab Suci al-Qur'an itu sendiri, sebagaimana dilukiskan A'isyah,
isteri beliau. Dari Kitab Suci kita mengetahui lebih banyak perkembangan kepribadian Nabi yang menggambarkan pengalaman Nabi, baik yang menyenangkan atau tidak, yang keseluruhannya menampilkan sosok Nabi yang berkepribadian mulia. Dari pengamatan atas gambaran itu kita dapat memperoleh ilham tentang peneladanan pada beliau, dan keseluruhan sasaran peneladanan itu tidak lain ialah sunnah nabi. Sebagai contoh, dua surat yang termasuk paling banyak dibaca dalam sholat dapat kita renungkan maknanya di sini.

Demi pagi yang cerah dan demi malam ketika telah kelam. Tidaklah Tuhanmu meninggalkan engkau (Muhammad), dan tidak pula murka. Dan pastilah kemudian hari lebih baik bagimu daripada yang sekarang ada. Dan juga pastilah Tuhanmu akan
menganugerahimu, maka kamu akan lega. Bukankah Dia mendapatimu yatim, kemudian Dia melindungimu?! Dan Dia mendapatimu bingung, kemudian Dia membimbingmu?! Dan Dia mendapatimu miskin, kemudian Dia memperkayamu?! Maka kepada anak yatim,
janganlah engkau menghardik! Dan kepada peminta-minta, janganlah kamu membentak! Sedangkan berkenaan dengan nikmat karunia Tuhanmu, engkau harus nyatakan! (QS. al-Dhuha 93:1-11)

Bukankah Kamu telah lapangkan dadamu?! Dan Kami bebaskan bebanmu, yang memberati punggungmu?! Serta Kami muliakan namamu?! Sebab sesunggahnya bersama kesulitan tentu ada kemudahan! Maka jika engkau bebas, kerja keraslah! Dan kepada
Tuhanmu, senantiasa berharaplah! (QS. al-Syarh 94:1-8)

Para ahli hampir semuanya sepakat bahwa surat al-Dhuha turun kepada Nabi berkenaan dengan peristiwa terputusnya wahyu yang relatif panjang, sehingga menimbulkan ejekan dan sinisme kaum musyrik Makkah bahwa Alloh SWT telah meninggalkan Nabi dan murka kepadanya. Dari latar belakang turunnya, surat ini juga menggambarkan tentang suatu dinamika pengalaman Nabi dalam perjuangan beliau, sehingga seperti dikatakan Sayyid Quthub, Alloh menghibur beliau dan memberinya dorongan moral, bahwa Alloh sama sekali tidak meninggalkan beliau dan tidak pula murka.

Alloh juga mengingatkan Nabi bahwa masa mendatang lebih penting daripada masa sekarang. Dalam terjemah kontemporernya, Alloh mengingatkan Nabi bahwa perjuangan jangka panjang, yang strategis lebih penting daripada pengalaman jangka pendek,
yang taktis. Oleh karena itu hendaknya Nabi tidak putus asa atau kecil hati oleh pengalaman kekecewaan jangka pendek. Sebab, perjuangan besar selalu memerlukan waktu untuk mencapai hasil dan semakin besar nilai suatu perjuangan maka semakin
panjang pula dimensi waktu yang diperlukannya. Dan dalam jangka panjang itulah, selama perjuangan diteruskan dengan penuh kesabaran dan harapan, Alloh menjanjikan untuk memberi kemenangan yang bakal membuat beliau puas dan lega. (Janji Alloh ini kelak ternyata terbukti dan terlaksana, berupa kemenangan demi kemenangan yang diraih Nabi setelah hijrah ke Madinah, dan beliau pun wafat memenuhi panggilan menghadap Alloh dalam keadaan menang dan sukses luar biasa).

Bersamaan dengan itu Alloh juga mengingatkan akan masa lampau Nabi yang penuh kesusahan seperti keadaan beliau yang yatim-piatu, bingung tentang apa yang hendak dilakukan dan miskin, dan bagaimana Alloh telah menunjukkan kasih-Nya pada
beliau dengan memberi kemampuan mengatasi kesusahan itu semua. Dan berdasarkan latar belakang itu maka Alloh berpesan agar Nabi janganlah sampai menghardik anak-yatim, atau membentak peminta-minta, dan selalu ingat dengan penuh syukur akan nikmat karunia Alloh SWT.

0 Response to "Teladan Nabi"

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel