Sedikit Bicara, Banyak Mencintai
Pada suatu hari jalan saya sedang berkunjung dirumah seorang teman. Jalanan macet, entah kenapa jalanan itu bisa macet. Ditengah kemacetan tergelitik untuk bertanya pada orang. “Pak, ada apa ya kok macet bisa panjang gini?” tanya saya. “Ada yang meninggal mas.” Jawabnya.
“Oo, jadi orang yang melayatnya panjang ya? Emangnya pejabat ya pak?” “Bukan.” Direktur?” “Juga, bukan” “Terus apa dong pak?” “Itu mak tua, tukang urut. Masa mas nggak kenal sih?”
“Kok bisa tukang urut bisa begini banyak ya yang melayat?” Tanya saya. “Dia sih, sedikit bicara banyak mencintai. Banyak anak-anak ama ibu-ibu yang urut yang kagak bayar masih juga mau ngurut. Dia tuh sampe dikenal luar kampung.” Ceritanya dengan bangga.
“Oo, jadi orang yang melayatnya panjang ya? Emangnya pejabat ya pak?” “Bukan.” Direktur?” “Juga, bukan” “Terus apa dong pak?” “Itu mak tua, tukang urut. Masa mas nggak kenal sih?”
“Kok bisa tukang urut bisa begini banyak ya yang melayat?” Tanya saya. “Dia sih, sedikit bicara banyak mencintai. Banyak anak-anak ama ibu-ibu yang urut yang kagak bayar masih juga mau ngurut. Dia tuh sampe dikenal luar kampung.” Ceritanya dengan bangga.
2 Responses to "Sedikit Bicara, Banyak Mencintai"
Inalillahi wa inaillahirojiun...
Saya juga kenal tukang urut yang punya filosofi sama. Melayani tanpa mengharapkan besar imbalan.... kayaknya para pejabat harus meniru para tk urut seperti mereka, ya pak?
Post a Comment