Misteri Keadilan Allah
Bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala Maha Adil, secara akademik tak seorangpun yang menolak, tetapi bahwa banyak individu-individu yang secara diam-diam mempertanyakan keadilan Allah juga tak bisa dibantah. Pembicaraan tentang keadilan Allah bukanlah hal baru. Persoalan ini hadir sejak manusia mengenal baik buruk. Pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa ada kejahatan, ada kemiskinan, ada penyakit, atau pertanyaan mengapa si A yang baik dan pintar nasibnya buruk sedang si B yang jahat dan bodoh selalu sukses usahanya ?
Sesungguhnya bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas menjadi sangat musykil jika jawabannya dimaksud untuk memuaskan semua nalar, tetapi jika ingin mencari hikmah dari suatu peristiwa yang tidak menyenangkan, maka boleh jadi suatu peristiwa yang semula dinilai negatif, lama-kelamaan akan berubah menjadi positif setelah kita bisa mendudukkan peristiwa itu dalam konteks yang lebih panjang. Suatu golongan meratap-ratap ketika ketuanya yang terpilih menjadi presiden dijatuhkan oleh lawan di tengah masa jabatannya. Segala macam usaha, bahkan doa-doa andalan istighasah pun sudah dipanjatkan untuk mempertahankan kedudukan sang presiden. Kecewa, sedih, marah dan dendam bercampur aduk dalam hati kelompok itu mengiringi jatuhnya sang presiden. Tetapi setelah setahun berlalu, setelah berbagai peristiwa terjadi, nampak bahwa dibalik hal yang mengecewakan itu terdapat hikmah yang luar biasa besarnya.
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dinamakan kebaikan atau keburukan dalam perspektif diatas sebenarnya tidak ada, atau paling tidak adanya itu hanya dalam nalar manusia yang memandang secara parsial, karena segala hal yang datang dari Allah itu pastilah kebaikan., karena sebagaimana disebutkan al Quran, Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya (Q/32:7). Keburukan itu ada hanya karena keterbatasan pandangan manusia saja. Segala sesuatu sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia yang terbatas itulah yang mengiranya buruk.
Nalar kita tidak dapat menembus semua dimensi. Seringkali ketika seseorang memandang sesuatu secara mikro, hal itu dinilainya buruk dan jahat, tetapi jika dipandang secara makro dan menyeluruh, justeru hal itu merupakan unsur keindahan. Tahi lalat jika dilihat secara mikro, yakni tahi lalat itu sendiri maka pasti ia nampak buruk, tetapi jika dilihat dalam kerangka wajah pemiliknya, maka tahi lalat itu justeru bisa menjadi faktor utama kecantikan wajah pemiliknya. Sama halnya ketika kita melihat orang yang kakinya di-potong, terasa ada kekejaman di dalamnya, tetapi jika kita tahu bahwa yang mengampputasi itu dokter sebagai upaya penyelamatan hidup orang itu, maka kita bisa berkata, untung ada dokter yang sempat mengamputasinya, dan di dalamnya ada nuansa terima kasih kepada yang memotong kaki. Oleh karena itu kita tidak boleh memandang kebijaksanaan Allah secara mikro, atau, sekurang-kurangnya ketika kita belum bisa memahami hal itu, kita harus meyakini bahwa dibalik itu ada hikmah tersembunyi.
Sesungguhnya bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas menjadi sangat musykil jika jawabannya dimaksud untuk memuaskan semua nalar, tetapi jika ingin mencari hikmah dari suatu peristiwa yang tidak menyenangkan, maka boleh jadi suatu peristiwa yang semula dinilai negatif, lama-kelamaan akan berubah menjadi positif setelah kita bisa mendudukkan peristiwa itu dalam konteks yang lebih panjang. Suatu golongan meratap-ratap ketika ketuanya yang terpilih menjadi presiden dijatuhkan oleh lawan di tengah masa jabatannya. Segala macam usaha, bahkan doa-doa andalan istighasah pun sudah dipanjatkan untuk mempertahankan kedudukan sang presiden. Kecewa, sedih, marah dan dendam bercampur aduk dalam hati kelompok itu mengiringi jatuhnya sang presiden. Tetapi setelah setahun berlalu, setelah berbagai peristiwa terjadi, nampak bahwa dibalik hal yang mengecewakan itu terdapat hikmah yang luar biasa besarnya.
Sebagian ulama menyatakan bahwa yang dinamakan kebaikan atau keburukan dalam perspektif diatas sebenarnya tidak ada, atau paling tidak adanya itu hanya dalam nalar manusia yang memandang secara parsial, karena segala hal yang datang dari Allah itu pastilah kebaikan., karena sebagaimana disebutkan al Quran, Dialah yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya (Q/32:7). Keburukan itu ada hanya karena keterbatasan pandangan manusia saja. Segala sesuatu sebenarnya tidak buruk, tetapi nalar manusia yang terbatas itulah yang mengiranya buruk.
Nalar kita tidak dapat menembus semua dimensi. Seringkali ketika seseorang memandang sesuatu secara mikro, hal itu dinilainya buruk dan jahat, tetapi jika dipandang secara makro dan menyeluruh, justeru hal itu merupakan unsur keindahan. Tahi lalat jika dilihat secara mikro, yakni tahi lalat itu sendiri maka pasti ia nampak buruk, tetapi jika dilihat dalam kerangka wajah pemiliknya, maka tahi lalat itu justeru bisa menjadi faktor utama kecantikan wajah pemiliknya. Sama halnya ketika kita melihat orang yang kakinya di-potong, terasa ada kekejaman di dalamnya, tetapi jika kita tahu bahwa yang mengampputasi itu dokter sebagai upaya penyelamatan hidup orang itu, maka kita bisa berkata, untung ada dokter yang sempat mengamputasinya, dan di dalamnya ada nuansa terima kasih kepada yang memotong kaki. Oleh karena itu kita tidak boleh memandang kebijaksanaan Allah secara mikro, atau, sekurang-kurangnya ketika kita belum bisa memahami hal itu, kita harus meyakini bahwa dibalik itu ada hikmah tersembunyi.
0 Response to "Misteri Keadilan Allah"
Post a Comment