Kiat Mendidik Anak Menjadi Insan Mulia
Satu malam datang seorang Ibu bersama suami tercintanya. Ibu ini bertanya pada saya bagaimana mendidik anak menjadi insan mulia. Saya katakan padanya, anak akan menjadi insan mulia jika anak diperlakukan dengan penuh kemuliaan. Pendidikan yang memuliaan anak berarti meningkatkan kualitas spiritual pada diri anak. Maka perlu pendidikan spiritual bagi anak agar kelak mereka menjadi insan mulia.
Tidak ada yang mengingkari bahwa kualitas manusia itu diukur dari kualitas jiwanya, moralnya atau akhlaknya, meski masih pula terdapat kelompok manusia yang lebih menghargai dimensi jasmaninya. Kesehatan jasmani manusia tumbuh bersama gizi yang dikonsumsi sebagaimana kesehatan jiwa juga tumbuh bersama konsumsi rohaniah. Dalam perjalanan hidupnya manusia selalu berjumpa dengan konflik yang berkesinambungan; konflik antara dorongan instink, syahwat dan hawa nafsu dengan nilai-nilai akumulatif akidah, konflik antara kejujuran dengan kebohongan, antara kebaikan dengan kejahatan, antara egoisme dengan mementingkan orang lain (itsar).
Akal dapat berfikir, membantu manusia memecahkan masalah (problem solving), dan untuk meningkatkan kualitas akal (intelektualnya) dapat diupayakan melalui pendidikan yang bersifat kognitip. Hati atau kalbu (qalb), meski karakternya tidak konsisten, tetapi ia dapat membantu manusia memahami peristiwa yang rumit. Lebih dari itu manusia masih memiliki hati nurani yang konsisten menyuarakan kebenaran dan kejujuran. Meski demikian, tetap saja ada (bahkan kebanyakan) manusia yang bodoh, tidak berperasaan dan nuraninya mati.
Dulu orang mengedepankan kecerdasan intelektual sebagai kunci kesuksesan. Belakangan orang menganggap peran kecerdasan intelektual (IQ) itu hanya 20 %, selebihnya oleh kecerdasan emosional (EQ). Terakhir orang lebih menengok kecerdasan Spiritual (SQ) sebagai penentu yang dominan. Ketika bangsa Indonesia terpuruk pada krisis yang memalukan seperti sekarang ini, orang menyalahkan sistem pendidikan nasional sebagai penyebab, yakni pendidikan yang terlalu mengedepankan aspek kognitif, mengabaikan aspek afektif. Jika krisis ekonomi dapat diperbaiki dalam waktu singkat, tidak demikian dengan krisis moral, apalagi jika krisis itu sudah mencapai keruntuhan moral bangsa. Mendidik moral manusia membutuhkan waktu yang panjang, konsistensi, konprehensif dan berkesinambungan. Masyarakat Indonesia dewasa ini sudah sangat mendesak kebutuhannya pada pendidikan spiritual.
Pendidikan adalah satu proses yang bertujuan membentuk pola perilaku; misalnya pendidikan kemiliteran, pendidikan kewiraswastaan, pendidikan agama. Proses itu biasanya membutuhkan peran seorang pendidik, tetapi manusia juga bisa mendidik diri sendiri setelah berjumpa dengan pengalaman yang mendidik.
Oleh karena itu pendidikan spiritual lebih menekankan pada pemberian kesempatan agar anak mengalami sendiri suatu pengalaman spiritual. Jika bercermin kepada perilaku Nabi Muhammad, maka nampaknya lembaga pendidikan spiritual yang dialami oleh Muhammad bertafakkur, mengasah nurani, menajamkan hati, dan mengelola emosi serta mengendalikan nafsu.
Dalam perspektif Islam, Pendidikan spiritual adalah proses tranformasi sistem nilai Qur’ani ke dalam potensi kejiwaan pada anak melalui perjuangan dan pelatihan jiwa (mujahadah) agar setiap kali merespon stimulus dalam kehidupan, jiwanya tunduk kepada nilai-nilai tersebut dengan tenang, senang dan yakin. Wujud mujahadah itu adalah zikir, puasa sunnat, sholat dhuha.
Maka anak yang telah memiliki kecerdasan spiritual disebut sebagai ‘arif atau min al ‘arifin, secara sosiologis sering disebut sebagai yang arif bijaksana. Ma‘rifat tidak menetap, melainkan sesaat-sesaat (sa‘atan sa‘atan), seperti disebut dalam hadis riwayat Hanzalah, tetapi pengaruhnya menghunjam dalam kejiwaan pada anak, mempengaruhi persepsi dan mewarnai perilaku. Kelak anak menjadi insan mulia. Insya Alloh.
Tidak ada yang mengingkari bahwa kualitas manusia itu diukur dari kualitas jiwanya, moralnya atau akhlaknya, meski masih pula terdapat kelompok manusia yang lebih menghargai dimensi jasmaninya. Kesehatan jasmani manusia tumbuh bersama gizi yang dikonsumsi sebagaimana kesehatan jiwa juga tumbuh bersama konsumsi rohaniah. Dalam perjalanan hidupnya manusia selalu berjumpa dengan konflik yang berkesinambungan; konflik antara dorongan instink, syahwat dan hawa nafsu dengan nilai-nilai akumulatif akidah, konflik antara kejujuran dengan kebohongan, antara kebaikan dengan kejahatan, antara egoisme dengan mementingkan orang lain (itsar).
Akal dapat berfikir, membantu manusia memecahkan masalah (problem solving), dan untuk meningkatkan kualitas akal (intelektualnya) dapat diupayakan melalui pendidikan yang bersifat kognitip. Hati atau kalbu (qalb), meski karakternya tidak konsisten, tetapi ia dapat membantu manusia memahami peristiwa yang rumit. Lebih dari itu manusia masih memiliki hati nurani yang konsisten menyuarakan kebenaran dan kejujuran. Meski demikian, tetap saja ada (bahkan kebanyakan) manusia yang bodoh, tidak berperasaan dan nuraninya mati.
Dulu orang mengedepankan kecerdasan intelektual sebagai kunci kesuksesan. Belakangan orang menganggap peran kecerdasan intelektual (IQ) itu hanya 20 %, selebihnya oleh kecerdasan emosional (EQ). Terakhir orang lebih menengok kecerdasan Spiritual (SQ) sebagai penentu yang dominan. Ketika bangsa Indonesia terpuruk pada krisis yang memalukan seperti sekarang ini, orang menyalahkan sistem pendidikan nasional sebagai penyebab, yakni pendidikan yang terlalu mengedepankan aspek kognitif, mengabaikan aspek afektif. Jika krisis ekonomi dapat diperbaiki dalam waktu singkat, tidak demikian dengan krisis moral, apalagi jika krisis itu sudah mencapai keruntuhan moral bangsa. Mendidik moral manusia membutuhkan waktu yang panjang, konsistensi, konprehensif dan berkesinambungan. Masyarakat Indonesia dewasa ini sudah sangat mendesak kebutuhannya pada pendidikan spiritual.
Pendidikan adalah satu proses yang bertujuan membentuk pola perilaku; misalnya pendidikan kemiliteran, pendidikan kewiraswastaan, pendidikan agama. Proses itu biasanya membutuhkan peran seorang pendidik, tetapi manusia juga bisa mendidik diri sendiri setelah berjumpa dengan pengalaman yang mendidik.
Oleh karena itu pendidikan spiritual lebih menekankan pada pemberian kesempatan agar anak mengalami sendiri suatu pengalaman spiritual. Jika bercermin kepada perilaku Nabi Muhammad, maka nampaknya lembaga pendidikan spiritual yang dialami oleh Muhammad bertafakkur, mengasah nurani, menajamkan hati, dan mengelola emosi serta mengendalikan nafsu.
Dalam perspektif Islam, Pendidikan spiritual adalah proses tranformasi sistem nilai Qur’ani ke dalam potensi kejiwaan pada anak melalui perjuangan dan pelatihan jiwa (mujahadah) agar setiap kali merespon stimulus dalam kehidupan, jiwanya tunduk kepada nilai-nilai tersebut dengan tenang, senang dan yakin. Wujud mujahadah itu adalah zikir, puasa sunnat, sholat dhuha.
Maka anak yang telah memiliki kecerdasan spiritual disebut sebagai ‘arif atau min al ‘arifin, secara sosiologis sering disebut sebagai yang arif bijaksana. Ma‘rifat tidak menetap, melainkan sesaat-sesaat (sa‘atan sa‘atan), seperti disebut dalam hadis riwayat Hanzalah, tetapi pengaruhnya menghunjam dalam kejiwaan pada anak, mempengaruhi persepsi dan mewarnai perilaku. Kelak anak menjadi insan mulia. Insya Alloh.
0 Response to "Kiat Mendidik Anak Menjadi Insan Mulia"
Post a Comment