Peran Bank Syariah Dalam Transformasi Ekonomi Di Indonesia (1)
Perkembangan perekonomian Islam dewasa ini bertumpu pada empat pilar. Pilar pertama, adalah korpus ekonomi Islam itu sendiri, yang berujud teori-teori ekonomi yang telah ditulis, baik oleh para ulama yang pada umumnya merupakan pembahasan mengenai hukum syari’ah di bidang ekonomi. Kedua, proses pendidikan dan latihan yang menciptakan tenaga-tenaga professional yang tidak saja mampu melaksanakan prinsip-prinsip ekonomi dan bisnis, tetapi juga memahami syari’ah dan lebih-lebih di bidang keuangan dan perbankan, mampu melaksanakan asas-asas prudensialitas, baik ekonomis maupun syari’ah. Ketiga, adalah perkembangan perbankan syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah lainnya (asuransi tafakul, reksadana, obligasi, zakat dan wakaf).
Keempat, adalah perkembangan bisnis di sektor riil, seperti pertanian, pertambangan, industri, perdagangan dan jasa. Keempat pilar itu berkaitan satu dengan yang lain. Sebagai contoh, beroperasinya sistem perbankan syari’ah secara berkesinambungan (sustainable) sangat bergantung pada mutu sumberdaya manusia (human resource) sebagai modal manusia (human capital) yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan latihan. Selanjutnya perkembangan pendidikan dan latihan juga bersumber pada perkembangan teori-teori dan konsep-konsep mengenai keuangan syari’ah. Perkembangan sektor riil pada gilirannya ditunjang oleh sektor keuangan dan perbankan dengan modal finansial.
Lahirnya ekonomi Islam di zaman modern ini cukup unik dalam sejarah perkembangan ekonomi. Ekonomi Islam, berbeda dengan ekonomi-ekonomi yang lain, lahir karena dua faktor. Pertama, berasal dari ajaran agama yang melarang riba dan menganjurkan sadaqah. Kedua, timbulnya surplus dan yang disebut petro-dollar dari negara-negara penghasil dan pengekspor minyak dari Timur Tengah dan negara-negara Islam. Adalah suatu kebetulan, bahwa lading-ladang minyak terbesar di dunia dewasa ini berada di negara-negara Muslim.
Sebenarnya kesadaran tentang larangan riba teleh menimbulkan gagasan pembentukan suatu bank Islam pada dasawarsa kedua abad ke 20. Tapi gagasan tersebut hanya melahirkan satu dua bank kecil yang tidak berdasarkan bunga. Sebabnya mudah dipahami, yaitu karena tiadanya modal finansial yang mencukupi yang dimiliki kaum Muslim. Pada waktu itu juga sudah disadari adanya doktrin sadaqah atau zakat dan K.H. Ahmad Dahlan sudah punya gagasan untuk membentuk lembaga amil (penghimpun dan pengelola) zakat. Tapi dana yang berhasil dikumpulkan itu dibutuhkan langsung untuk dakwah dan penyantunan fakir miskin. Karena itu belum ada gagasan untuk menjadikan dana zakat sebagai modal bank.
Gagasan penghimpunan zakat untuk modal bank baru timbul di Mesir pada awal dasawarsa 60-an. Maka pada tahun 1963, atas prakarsa seorang cendekiawan Mesir Dr. Ahmad al Najjar, dibentuk bank pedesaan (rural bank) bersama Mir-Ghamr Bank. Bank itu sesungguhnya cukup sukses, namun karena tersandung oleh alasan politik pada zaman pemerintahan otoriter Jamal Abdul Nasser, bank itu ditutup pada tahun 1967. Namun eksperiman bank Mir-Ghamr itu dihidupkan kembali dalam Nasr-Social Bank, dengan sponsor Pemerintah untuk menolong masyarakat lemah sebagai bagian dari sosialisme Arab-Mesir. Namun bank tersebut tidak lama umurnya karena berhenti beroperasi pada tahun 1976.
Dalam kasus dua bank perintis Mesir tersebut dapat ditarik beberapa pelajaran. Pertama, ajaran Islam mampu menggerakkan ide sosial-ekonomi. Ide spirit yang bersumber pada ajaran agama ini, sekarang disebut juga sebagai modal sosial (social capital). Kedua peranan cendekiawan yang memiliki suatu konsep yang mengoperasionalkan ajaran agama yaitu zakat dan larangan riba. Ketiga, dalam dua kasus pendirian bank itu nampak peranan pemerintah, yang pertama bersifat negatif. Intervensi kekuasaan yang bermotif politik menyebabkan tutupnya bank Mir-Ghamr, tetepi bersifat positif dalam kasus didirikannya Nasr-Social Bank. Hanya saja, karena tiadanya sifat bisnis pada Nasr Social Bank, maka bank tersebut tidak bisa berlanjut. Sedangkan Mir-Ghamr Bank cukup sukses berkembang, karena dijalankan secara professional, walaupun mengandung unsur sosial.
Perkembangan pesat bank-bank syari’ah yang lebih lazim disebut sebagai bank-Islam terjadi pada dasawarsa ’70-an, setelah terjadinya krisis minyak yang menimbulkan oil-boom pada tahun 1971. Dengan naiknya harga minyak hingga mencapai US$ 36,- per barel, maka terciptalah surplus dolar hasil ekspor minyak. Modal itu mula-mula melayang ke Eropa Barat dan AS untuk disimpan atau dibelikan saham-saham perusahaan-operusahaan besar. Dengan adanya surplus tersebut, dan secara kebetulan lahir pula generasi sarjana Muslim hasil didikan universitas-universitas Barat, maka timbul gagasan konspiratif untuk menampung dan menyalurkan modal tersebut di Dunia Islam sendiri. Maka berdirilah beberapa bank Islam di negara-negara Timur Tengah, terutama di Sudi Arabia, negera-negara Teluk dan Mesir pada dasawarsa ’70-an misalnya Dubai Islamic Bank (1973), di kawasan negara-negara Emirat Arab,
Islamic Development Bank di Saudi Arabia (1975), Faisal Islamic Bank di Mesir (1977).Kuwait Haouse of Finmance di Kuwait (1977), atau Jordan Islamic Bank di Jordania (1978). Pada dasawarsa ’80-an timbul bank-bank Islam di negara-negara Eropa Barat, misalnya Islamic Bank Internasional di Denmark (1982), Islamic Banking System-Internasional Holding SA di Luxemburg atau Dar al Maal di Swiss. Pada tahun 1983 berdiri Bank Islam Malaysia dam di tahun yang sama juga di Pakistan, Pakistan Banking System. Baru pada tahun 1991 di Indonesia berdiri Bank Mu’amalat Indonesia (BMI).
Dalam pembentukan bank-bank di negara-negara Timur Tengah sangat berperan orang-orang kaya yang dekat dengan raja, dengan demikian pemerintah ikut berperamn mendukung. Sumber dananya berasal dari minyak yang dikuasai oleh keluarga raja. Ini berbeda dengan bank-bank di negara-negara industri maju yang berasal dari badan-badan usaha besar milik swasta. Di Indonesia, peranan pemerintah sangat penting yang ikut menghimpun dana dari BUMN.
Dewasa ini, menurut International Association for Islamic Bank, jumlah bank-bank Islam di seluruh Dunia Islam, yang mencakup 40 negara-negara Muslim mauopun non-Muslim sudah lebih dari 200 unit, padahal pada tahun 1986 baru berjumlah 35 unit, dengan aset sebesar US$200,- miliar, di antaranya deposito sebesar US$ 80,- miliar. Di antara bank-bank itu muncul kelompok trans-national group, yaitu Darl al Mal al Islamy dan al Baraqah-Dallah Group. Satu di antaranya adalah Islamic Development Bank (IDB), yang sahamnya dimiliki oleh negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konperensi Islam). Setiap negara Muslim punya hak untuk meminta bantuan dana dari IDB ini, di antaranya Indonesia telah memperoleh dana melalui BMI yang memperoleh modal sehingga IDB ikut memiliki 35% saham BMI dan baru-baru ini BMI juga memperoleh dana tambahan sebesar US$ 100,- juta guna memperkuat permodalannya. Selain itu, Reksadana Syari’ah yang dulu dipimpin olkeh Iwan Poncowinoto, telah memperoleh pinjaman sebasar US$ 100,- miliar dan telah berhasil dikembalikan. Tapi secara umum Indonesia belum mamanfaatkannya secara maksimal.
Dari perjalanan perbankan dan lembaga keuangan Islam itu dapat ditarik katerangan, bahwa, perekonomian Islam yang selama ini berkembang dimulai modal fisik (physical capital) atau modal alam (natural capital), khususnya yang berasal dari minyak bumi. Dari hasil surplus ekspor minyak bumi ini terbentuk modal financial (financial capital).
Pola perkembangan ini sebenarnya juga terjadi dalam perekonomian AS yang kaya sumberdaya alam, terutama minyak dan emas. Demikian pula pola perkembangan negara-negara Eropa Barat. Hanya saja negara-negara Eropa Barat mengeksploitasi sumberdaya alam negara-negara jajahan melalui kolonialisme dan imperialisme.
Namun demikian, modal finansial tersebut belum berhasil menumbuhkan sektor riil, khususnya di bidang pertanian dan industri, walaupun telah menimbulkan industri pertambangan yang oil-related (seperti petro-kimia). Hal ini disebabkan karena dua hal. Pertama, belum adanya konsep pembangunan yang komprehensif, kecuali misalnya di Iran yang mengarah kepada pembangunan pertanian dan industrialisasi. Sebenarnya dana petro-dolar tersebut bisa dipergunakan untuk membangun pertanian di Mesir, Sudan dan beberapa negara Afrika Utara yang cukup berpotensi (misalnya di bidang hortikultura).
Keempat, adalah perkembangan bisnis di sektor riil, seperti pertanian, pertambangan, industri, perdagangan dan jasa. Keempat pilar itu berkaitan satu dengan yang lain. Sebagai contoh, beroperasinya sistem perbankan syari’ah secara berkesinambungan (sustainable) sangat bergantung pada mutu sumberdaya manusia (human resource) sebagai modal manusia (human capital) yang dihasilkan oleh sistem pendidikan dan latihan. Selanjutnya perkembangan pendidikan dan latihan juga bersumber pada perkembangan teori-teori dan konsep-konsep mengenai keuangan syari’ah. Perkembangan sektor riil pada gilirannya ditunjang oleh sektor keuangan dan perbankan dengan modal finansial.
Lahirnya ekonomi Islam di zaman modern ini cukup unik dalam sejarah perkembangan ekonomi. Ekonomi Islam, berbeda dengan ekonomi-ekonomi yang lain, lahir karena dua faktor. Pertama, berasal dari ajaran agama yang melarang riba dan menganjurkan sadaqah. Kedua, timbulnya surplus dan yang disebut petro-dollar dari negara-negara penghasil dan pengekspor minyak dari Timur Tengah dan negara-negara Islam. Adalah suatu kebetulan, bahwa lading-ladang minyak terbesar di dunia dewasa ini berada di negara-negara Muslim.
Sebenarnya kesadaran tentang larangan riba teleh menimbulkan gagasan pembentukan suatu bank Islam pada dasawarsa kedua abad ke 20. Tapi gagasan tersebut hanya melahirkan satu dua bank kecil yang tidak berdasarkan bunga. Sebabnya mudah dipahami, yaitu karena tiadanya modal finansial yang mencukupi yang dimiliki kaum Muslim. Pada waktu itu juga sudah disadari adanya doktrin sadaqah atau zakat dan K.H. Ahmad Dahlan sudah punya gagasan untuk membentuk lembaga amil (penghimpun dan pengelola) zakat. Tapi dana yang berhasil dikumpulkan itu dibutuhkan langsung untuk dakwah dan penyantunan fakir miskin. Karena itu belum ada gagasan untuk menjadikan dana zakat sebagai modal bank.
Gagasan penghimpunan zakat untuk modal bank baru timbul di Mesir pada awal dasawarsa 60-an. Maka pada tahun 1963, atas prakarsa seorang cendekiawan Mesir Dr. Ahmad al Najjar, dibentuk bank pedesaan (rural bank) bersama Mir-Ghamr Bank. Bank itu sesungguhnya cukup sukses, namun karena tersandung oleh alasan politik pada zaman pemerintahan otoriter Jamal Abdul Nasser, bank itu ditutup pada tahun 1967. Namun eksperiman bank Mir-Ghamr itu dihidupkan kembali dalam Nasr-Social Bank, dengan sponsor Pemerintah untuk menolong masyarakat lemah sebagai bagian dari sosialisme Arab-Mesir. Namun bank tersebut tidak lama umurnya karena berhenti beroperasi pada tahun 1976.
Dalam kasus dua bank perintis Mesir tersebut dapat ditarik beberapa pelajaran. Pertama, ajaran Islam mampu menggerakkan ide sosial-ekonomi. Ide spirit yang bersumber pada ajaran agama ini, sekarang disebut juga sebagai modal sosial (social capital). Kedua peranan cendekiawan yang memiliki suatu konsep yang mengoperasionalkan ajaran agama yaitu zakat dan larangan riba. Ketiga, dalam dua kasus pendirian bank itu nampak peranan pemerintah, yang pertama bersifat negatif. Intervensi kekuasaan yang bermotif politik menyebabkan tutupnya bank Mir-Ghamr, tetepi bersifat positif dalam kasus didirikannya Nasr-Social Bank. Hanya saja, karena tiadanya sifat bisnis pada Nasr Social Bank, maka bank tersebut tidak bisa berlanjut. Sedangkan Mir-Ghamr Bank cukup sukses berkembang, karena dijalankan secara professional, walaupun mengandung unsur sosial.
Perkembangan pesat bank-bank syari’ah yang lebih lazim disebut sebagai bank-Islam terjadi pada dasawarsa ’70-an, setelah terjadinya krisis minyak yang menimbulkan oil-boom pada tahun 1971. Dengan naiknya harga minyak hingga mencapai US$ 36,- per barel, maka terciptalah surplus dolar hasil ekspor minyak. Modal itu mula-mula melayang ke Eropa Barat dan AS untuk disimpan atau dibelikan saham-saham perusahaan-operusahaan besar. Dengan adanya surplus tersebut, dan secara kebetulan lahir pula generasi sarjana Muslim hasil didikan universitas-universitas Barat, maka timbul gagasan konspiratif untuk menampung dan menyalurkan modal tersebut di Dunia Islam sendiri. Maka berdirilah beberapa bank Islam di negara-negara Timur Tengah, terutama di Sudi Arabia, negera-negara Teluk dan Mesir pada dasawarsa ’70-an misalnya Dubai Islamic Bank (1973), di kawasan negara-negara Emirat Arab,
Islamic Development Bank di Saudi Arabia (1975), Faisal Islamic Bank di Mesir (1977).Kuwait Haouse of Finmance di Kuwait (1977), atau Jordan Islamic Bank di Jordania (1978). Pada dasawarsa ’80-an timbul bank-bank Islam di negara-negara Eropa Barat, misalnya Islamic Bank Internasional di Denmark (1982), Islamic Banking System-Internasional Holding SA di Luxemburg atau Dar al Maal di Swiss. Pada tahun 1983 berdiri Bank Islam Malaysia dam di tahun yang sama juga di Pakistan, Pakistan Banking System. Baru pada tahun 1991 di Indonesia berdiri Bank Mu’amalat Indonesia (BMI).
Dalam pembentukan bank-bank di negara-negara Timur Tengah sangat berperan orang-orang kaya yang dekat dengan raja, dengan demikian pemerintah ikut berperamn mendukung. Sumber dananya berasal dari minyak yang dikuasai oleh keluarga raja. Ini berbeda dengan bank-bank di negara-negara industri maju yang berasal dari badan-badan usaha besar milik swasta. Di Indonesia, peranan pemerintah sangat penting yang ikut menghimpun dana dari BUMN.
Dewasa ini, menurut International Association for Islamic Bank, jumlah bank-bank Islam di seluruh Dunia Islam, yang mencakup 40 negara-negara Muslim mauopun non-Muslim sudah lebih dari 200 unit, padahal pada tahun 1986 baru berjumlah 35 unit, dengan aset sebesar US$200,- miliar, di antaranya deposito sebesar US$ 80,- miliar. Di antara bank-bank itu muncul kelompok trans-national group, yaitu Darl al Mal al Islamy dan al Baraqah-Dallah Group. Satu di antaranya adalah Islamic Development Bank (IDB), yang sahamnya dimiliki oleh negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konperensi Islam). Setiap negara Muslim punya hak untuk meminta bantuan dana dari IDB ini, di antaranya Indonesia telah memperoleh dana melalui BMI yang memperoleh modal sehingga IDB ikut memiliki 35% saham BMI dan baru-baru ini BMI juga memperoleh dana tambahan sebesar US$ 100,- juta guna memperkuat permodalannya. Selain itu, Reksadana Syari’ah yang dulu dipimpin olkeh Iwan Poncowinoto, telah memperoleh pinjaman sebasar US$ 100,- miliar dan telah berhasil dikembalikan. Tapi secara umum Indonesia belum mamanfaatkannya secara maksimal.
Dari perjalanan perbankan dan lembaga keuangan Islam itu dapat ditarik katerangan, bahwa, perekonomian Islam yang selama ini berkembang dimulai modal fisik (physical capital) atau modal alam (natural capital), khususnya yang berasal dari minyak bumi. Dari hasil surplus ekspor minyak bumi ini terbentuk modal financial (financial capital).
Pola perkembangan ini sebenarnya juga terjadi dalam perekonomian AS yang kaya sumberdaya alam, terutama minyak dan emas. Demikian pula pola perkembangan negara-negara Eropa Barat. Hanya saja negara-negara Eropa Barat mengeksploitasi sumberdaya alam negara-negara jajahan melalui kolonialisme dan imperialisme.
Namun demikian, modal finansial tersebut belum berhasil menumbuhkan sektor riil, khususnya di bidang pertanian dan industri, walaupun telah menimbulkan industri pertambangan yang oil-related (seperti petro-kimia). Hal ini disebabkan karena dua hal. Pertama, belum adanya konsep pembangunan yang komprehensif, kecuali misalnya di Iran yang mengarah kepada pembangunan pertanian dan industrialisasi. Sebenarnya dana petro-dolar tersebut bisa dipergunakan untuk membangun pertanian di Mesir, Sudan dan beberapa negara Afrika Utara yang cukup berpotensi (misalnya di bidang hortikultura).
0 Response to "Peran Bank Syariah Dalam Transformasi Ekonomi Di Indonesia (1)"
Post a Comment