Kecenderungan Kebaikan Pada Diri Kita
Pagi ini saya mengajukan pertanyaan di facebook, 'sudah berapa kali hari ini anda tersenyum? dalam hitungan menit pertanyaan saya sudah di teman2. Hal inilah saya menyakini bahwa pada dasarnya sangat menyukai terhadap kebaikan. kebaikan itu dengan wujud berbagi senyuman.
Senyuman hampir saya jumpai disepanjang hari, ketika saya di kantor bertemu dengan teman2, dirumah ketika saya bertemu dengan anak dan istri saya maupun disaat saya bertemu dengan anak-anak Amalia. bertegur sapa dengan tetangga juga merupakan kebahagiaan buat saya. Kebahagiaan inilah yang juga dirasakan semua orang karena pada dasarnya ada Kecenderungan Kebaikan Pada Diri Kita.
Di hadapan Allah SWT manusia bertanggungjawab secara perorangan. Sebagai khalifah Allah, setiap manusia telah dilengkapi perangkat untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahannya. Perbuatan baik atau buruk sekecil apapun yang dilakukan manusia tidak ada yang tercecer dalam 'administrasi' Allah (Q., s. al-Zilzalah / 99:8-7). Perbuatan baik yang dilakukan oleh setiap orang akan tercatat sebagai amal yang pahalanya diberikan kepada yang bersangkutan. Orang yang berdosa pun juga hanya menanggung akibat dari dosa yang dia lakukan. Tidak seorang pun yang teraniaya, yakni harus menanggung perbuatan dosa orang lain.
Di hadapan Allah SWT, nafs adalah otonom. Setiap nafs diberi peluang untuk berhubungan langsung dengan Allah SWT Jika badan mnusia yang bersifat materi musnah bersama dengan kematian manusia, maka nafs manusia yang immateri dipanggil untuk kembali kepada Tuhannya, seperti yang dijabarkan dalam surat al-Fajr / 89:27:
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya.
Akan tetapi kapasitas nafs tiap orang berbeda-beda, maka di samping ada nafs yang dipanggil untuk kembali kepada Tuhan dengan ridla dan diridlai, ada yang ditegur Tuhan karena tidak bisa mempertahan kesucian nafs-nya. Dalam surat al-Infithar Allah brfirman:
Setiap nafs mengetahui apa yang telah dikerjakan dan apa yang telah dilalaikan. Wahai manusia, apa yang telah memprdayakanmu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah? Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikanmu adil (Q,. s. al-infithar / 82:5-7).
Menurut al-Maraghi, artinya membuatmu seimbang badannya, sedangkan menurut Abdullah Yusuf Ali dalam The Meaning of the Glorious Quran, kalimat tersebut artinya membuatmu berprasangka adil, adil sepanjang argumen rasional dan perasaan spiritual.
Jadi pada dasarnya, meskipun nafs memiliki kemerdekaan, tetapi Allah SWT memberikan kecenderungan kepada kebaikan dan keadilan. Dalam surat al-Baqarah / 2:286, disebutkan bahwa nafs akan memproleh ganjaran sesuai dengan perbuatannya.
Nafs memproleh ganjaran dari apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa yang diusahakan (Q,. s. al-Baqarah / 2:286).
Jadi pada dasarnya nafs diciptakan Allah SWT dalam sistem menusia berikut dengan segala fitrahnya, sebagai fasilitas untuk berbuat baik. Dengan kata lain pada dasarnya manusia diciptakan Tuhan untuk menjalankan kebaikan, yang kemudian diberi fasilitas dengan nafs yang memiliki kecendrungan kepada kebaikan. Akan tetapi kebaikan perbuatan baik, sebaliknya malah melakukan keburukan, meskipun itu ia harus bersusah payah melakukannya (iktasabat), yakni harus memenangkan konflik batin, karena batin atau nafs-nya tidak mendukung perbuatan buruk itu.
Ayat ini sebenarnya juga menegaskan apresiasi al-Qur’an terhadap manusia, yakni memandang manusia sebagai makhluk yang mulia (positif) sejak lahir namun ada juga yang menganggap manusia secara negative, yakni manusia dipandang telah membawa dosa warisan sejak lahir.
Sejalan dengan pandangan positif ak-Qur’an, nafs diperlakukan Allah SWT secara adil dan tidak akan teraniaya, oleh karena itu Allah tidak membebani suatu kewajiban kepada seseorang kecuali pasti sesuai dengan kapasitas kesanggupannya, seperti yang dipaparkan dalam surat al-Baqarah / 2-286.
Senyuman hampir saya jumpai disepanjang hari, ketika saya di kantor bertemu dengan teman2, dirumah ketika saya bertemu dengan anak dan istri saya maupun disaat saya bertemu dengan anak-anak Amalia. bertegur sapa dengan tetangga juga merupakan kebahagiaan buat saya. Kebahagiaan inilah yang juga dirasakan semua orang karena pada dasarnya ada Kecenderungan Kebaikan Pada Diri Kita.
Di hadapan Allah SWT manusia bertanggungjawab secara perorangan. Sebagai khalifah Allah, setiap manusia telah dilengkapi perangkat untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahannya. Perbuatan baik atau buruk sekecil apapun yang dilakukan manusia tidak ada yang tercecer dalam 'administrasi' Allah (Q., s. al-Zilzalah / 99:8-7). Perbuatan baik yang dilakukan oleh setiap orang akan tercatat sebagai amal yang pahalanya diberikan kepada yang bersangkutan. Orang yang berdosa pun juga hanya menanggung akibat dari dosa yang dia lakukan. Tidak seorang pun yang teraniaya, yakni harus menanggung perbuatan dosa orang lain.
Di hadapan Allah SWT, nafs adalah otonom. Setiap nafs diberi peluang untuk berhubungan langsung dengan Allah SWT Jika badan mnusia yang bersifat materi musnah bersama dengan kematian manusia, maka nafs manusia yang immateri dipanggil untuk kembali kepada Tuhannya, seperti yang dijabarkan dalam surat al-Fajr / 89:27:
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridlai-Nya.
Akan tetapi kapasitas nafs tiap orang berbeda-beda, maka di samping ada nafs yang dipanggil untuk kembali kepada Tuhan dengan ridla dan diridlai, ada yang ditegur Tuhan karena tidak bisa mempertahan kesucian nafs-nya. Dalam surat al-Infithar Allah brfirman:
Setiap nafs mengetahui apa yang telah dikerjakan dan apa yang telah dilalaikan. Wahai manusia, apa yang telah memprdayakanmu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah? Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikanmu adil (Q,. s. al-infithar / 82:5-7).
Menurut al-Maraghi, artinya membuatmu seimbang badannya, sedangkan menurut Abdullah Yusuf Ali dalam The Meaning of the Glorious Quran, kalimat tersebut artinya membuatmu berprasangka adil, adil sepanjang argumen rasional dan perasaan spiritual.
Jadi pada dasarnya, meskipun nafs memiliki kemerdekaan, tetapi Allah SWT memberikan kecenderungan kepada kebaikan dan keadilan. Dalam surat al-Baqarah / 2:286, disebutkan bahwa nafs akan memproleh ganjaran sesuai dengan perbuatannya.
Nafs memproleh ganjaran dari apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa yang diusahakan (Q,. s. al-Baqarah / 2:286).
Jadi pada dasarnya nafs diciptakan Allah SWT dalam sistem menusia berikut dengan segala fitrahnya, sebagai fasilitas untuk berbuat baik. Dengan kata lain pada dasarnya manusia diciptakan Tuhan untuk menjalankan kebaikan, yang kemudian diberi fasilitas dengan nafs yang memiliki kecendrungan kepada kebaikan. Akan tetapi kebaikan perbuatan baik, sebaliknya malah melakukan keburukan, meskipun itu ia harus bersusah payah melakukannya (iktasabat), yakni harus memenangkan konflik batin, karena batin atau nafs-nya tidak mendukung perbuatan buruk itu.
Ayat ini sebenarnya juga menegaskan apresiasi al-Qur’an terhadap manusia, yakni memandang manusia sebagai makhluk yang mulia (positif) sejak lahir namun ada juga yang menganggap manusia secara negative, yakni manusia dipandang telah membawa dosa warisan sejak lahir.
Sejalan dengan pandangan positif ak-Qur’an, nafs diperlakukan Allah SWT secara adil dan tidak akan teraniaya, oleh karena itu Allah tidak membebani suatu kewajiban kepada seseorang kecuali pasti sesuai dengan kapasitas kesanggupannya, seperti yang dipaparkan dalam surat al-Baqarah / 2-286.
0 Response to "Kecenderungan Kebaikan Pada Diri Kita"
Post a Comment