Tanggungjawab
Semalam bersama anak-anak Amalia kami berdiskusi. Diskusi ini dbagi menjadi 4 kelompok, setiap kelompoknya terdiri dari 6 anak. Diskusi diawali dengan penjelasan kelompok satu. Sementara anak-anak lainnya sedang menyimak. Anak-anak Amalia terlihat ramai berebut bertanya, apa yang dimaksud dengan tanggungjawab? Kenapa harus bertanggungjawab? Tak kalah serunya yang menjawabpun demikian. Diskusinya semakin malam semakin seru, anak-anak seperti tak mengenal lelah.
Beberapa hari yang lalu saya memberikan tugas pada anak-anak Amalia untuk mencari makna kata tanggungjawab. Tujuan utama dari diskusi ini mengajak anak-anak Amalia lebih memahami makna tanggungjawab dalam perspektif al-Quran
Tanggung jawab atas tingkah laku menurut al-Quran harus dibedakan antara laku manusia yang bersumber dari fitrahnya dan perbuatan yang sifatnya diusahakan (al-muktasab). Tingkah laku fitrah adalah perbuatan yang sumbernya dari naluri fitrahnya, yakni yang behubungan dengan sistem biopsikologi dan sifat-sifat hereditas dan bawaan sejak lahir, seperti cara menghisap susu ibu yang dilakukan oleh bayi, cara bernafas manusia, gerakan reflek seseorang dan perilaku lainnya yang sejenis itu.
Sedangkan tingkah laku yang diusahakan, (al-muktasab), adalah perbuatan yang bersumber dari gabungan pengetahuan dan pengalaman yang dipelajari manusia sejak lahir dan kemudian dijadikan kebiasaan. Jika dalam hal tingkah laku fitrah, manusia berbuat secara spontan tanpa mempertimbangkan untung rugi maupun maka dalam hal tingkah laku al-muktasab manusia memperhitungkan untung rugi, baik untung rugi yang bersifat dekat, duniawi, maupun untung rugi yang bersifat jauh ke belakang, ukhrawi, pahala dan dosa.
Seseorang dianggap bertanggungjawab dalam tingkah lakunya jika ia dapat mengukur akibat-akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya itu dan bersedia nenanggung resiko dari yang ia lakukan. Dalam perspektif inilah maka seorang Muslim yang bertanggungjawab tidak akan merendahkan agama sendiri maupun agama orang lain, tidak pula menyakiti dirinya atau orang lain.
Al-Quran memandang bahwa tingkah laku orang ingkar tidak percaya kepada Nabi atau mendustakan al-Quran merupakan tidak bertanggungjawab, karena tidak mempunyai pijakan yang kuat. Orang boleh mendustakan al-Quran jika sanggup membuktikan bahwa al-Qur’an itu karangan manusia yang tidak bernilai, oleh karena itu al-Quran menjawab tantangan orang yang tidak percaya untuk membuat yang setara, meskipun hanya satu surat atau satu ayat, seperti dijelaskan dalam surat Yunus / 10:38 . Keberanian ber-mubahalah seperti yang dipaparkan dalam surat Ali Imran / 3:61 juga merupakan tingkah laku tanggung jawab.
Sedangkan tingkah laku tidak bertanggungjawab adalam perbuatan yang tidak memperhitungkan akibat dari perbuatan itu. Al-Quran memberi contoh tingkah laku kaumnya Nabi Shaleh yang mengganggu unta mukjizat dan menantang datangnya azab Allah SWT seperti yang dijelaskan surat al-Araf / 7:77 sebagai perbuatan tidak bertanggungjawab, karena mereka melakukan penolakan ajaran Allah SWT sekaligus menantang Allah SWT tanpa terlebih dahulu berpikir secara jernih. Melecehkan sesembahan orang ingkar juga dipandang al-Quran sebagai perbuatan tidak bertanggungjawab, sebab jika seorang mukmin melecehkan atau mencaci maki tuhannya orang lain, maka mereka pasti akan membalas melecehkan Allah, yang dihormat oleh orang mukmin, karena setiap golongan memandang baik keyakinan sendiri, seperti ditulis pada surat al-Anam / 6:108.
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan (Q., s. al-Anam / 6:108).
Beberapa hari yang lalu saya memberikan tugas pada anak-anak Amalia untuk mencari makna kata tanggungjawab. Tujuan utama dari diskusi ini mengajak anak-anak Amalia lebih memahami makna tanggungjawab dalam perspektif al-Quran
Tanggung jawab atas tingkah laku menurut al-Quran harus dibedakan antara laku manusia yang bersumber dari fitrahnya dan perbuatan yang sifatnya diusahakan (al-muktasab). Tingkah laku fitrah adalah perbuatan yang sumbernya dari naluri fitrahnya, yakni yang behubungan dengan sistem biopsikologi dan sifat-sifat hereditas dan bawaan sejak lahir, seperti cara menghisap susu ibu yang dilakukan oleh bayi, cara bernafas manusia, gerakan reflek seseorang dan perilaku lainnya yang sejenis itu.
Sedangkan tingkah laku yang diusahakan, (al-muktasab), adalah perbuatan yang bersumber dari gabungan pengetahuan dan pengalaman yang dipelajari manusia sejak lahir dan kemudian dijadikan kebiasaan. Jika dalam hal tingkah laku fitrah, manusia berbuat secara spontan tanpa mempertimbangkan untung rugi maupun maka dalam hal tingkah laku al-muktasab manusia memperhitungkan untung rugi, baik untung rugi yang bersifat dekat, duniawi, maupun untung rugi yang bersifat jauh ke belakang, ukhrawi, pahala dan dosa.
Seseorang dianggap bertanggungjawab dalam tingkah lakunya jika ia dapat mengukur akibat-akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya itu dan bersedia nenanggung resiko dari yang ia lakukan. Dalam perspektif inilah maka seorang Muslim yang bertanggungjawab tidak akan merendahkan agama sendiri maupun agama orang lain, tidak pula menyakiti dirinya atau orang lain.
Al-Quran memandang bahwa tingkah laku orang ingkar tidak percaya kepada Nabi atau mendustakan al-Quran merupakan tidak bertanggungjawab, karena tidak mempunyai pijakan yang kuat. Orang boleh mendustakan al-Quran jika sanggup membuktikan bahwa al-Qur’an itu karangan manusia yang tidak bernilai, oleh karena itu al-Quran menjawab tantangan orang yang tidak percaya untuk membuat yang setara, meskipun hanya satu surat atau satu ayat, seperti dijelaskan dalam surat Yunus / 10:38 . Keberanian ber-mubahalah seperti yang dipaparkan dalam surat Ali Imran / 3:61 juga merupakan tingkah laku tanggung jawab.
Sedangkan tingkah laku tidak bertanggungjawab adalam perbuatan yang tidak memperhitungkan akibat dari perbuatan itu. Al-Quran memberi contoh tingkah laku kaumnya Nabi Shaleh yang mengganggu unta mukjizat dan menantang datangnya azab Allah SWT seperti yang dijelaskan surat al-Araf / 7:77 sebagai perbuatan tidak bertanggungjawab, karena mereka melakukan penolakan ajaran Allah SWT sekaligus menantang Allah SWT tanpa terlebih dahulu berpikir secara jernih. Melecehkan sesembahan orang ingkar juga dipandang al-Quran sebagai perbuatan tidak bertanggungjawab, sebab jika seorang mukmin melecehkan atau mencaci maki tuhannya orang lain, maka mereka pasti akan membalas melecehkan Allah, yang dihormat oleh orang mukmin, karena setiap golongan memandang baik keyakinan sendiri, seperti ditulis pada surat al-Anam / 6:108.
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan (Q., s. al-Anam / 6:108).
0 Response to "Tanggungjawab"
Post a Comment